Wednesday 13 February 2013

Konsep Akhlak Dalam Perspektif Islam


Saat ini manusia sukses meraih prestasi besar di segala bidang dengan bantuan sains dan teknologi. Masyarakat dunia menyaksikan berbagai inovasi dan penemuan baru di sejumlah bidang termasuk antariksa, teknologi modern, bioteknologi, nano teknologi, kedokteran, dan agraria. Akan tetapi di samping berita-berita yang menyenangkan ini, manusia setiap harinya juga mendengar berita yang memilukan terkait peningkatan angka kriminalitas dan kejahatan, kecanduan narkoba, penyiksaan anak-anak, homoseksual, dan kejadian-kejadian lain yang mengguncang dunia. Ruh dan jiwa setiap manusia berakal akan tersiksa mendengar kabar-kabar buruk tersebut.

Tentu saja, peristiwa-peristiwa itu tidak hanya berhubungan dengan abad modern, namun dimana saja manusia melupakan Tuhan dan ajaran-ajaran langit, mereka akan terjerumus ke dalam dekadensi moral dan terlibat berbagai tindak kejahatan. Socrates termasuk salah satu pemikir yang memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut dan ia terlibat aktif untuk memperbaiki kultur dan akhlak masyarakat. Plato juga meyakini reformasi akhlak masyarakat harus menjadi prioritas semua pihak. Menurutnya, realitas kehidupan manusia dibangun atas dasar perilaku dan kaidah-kaidah khusus yang bersifat mutlak dan akhlak adalah contoh nyata dari realitas absolut dan mutlak.

Ajaran-ajaran murni para nabi as seperti, Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa as juga menekankan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai akhlak. Mereka mendorong masyarakat untuk menghiasi diri dengan nilai-nilai moral dan menganggapnya sebagai pijakan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah Saw sebagai penghulu para nabi juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

Tema ilmu akhlak sejak dulu menjadi fokus pembahasan dan kajian para ilmuwan. Mayoritas ilmuwan menganggap kebahagiaan manusia sebagai hasil dari akhlak yang baik dan sifat-sifat mulia. Menurut mereka, akhlak akan menyempurnakan dan meninggikan dimensi meterial dan spiritual masyarakat, sebab pendidikan akhlak akan mengembangkan potensi-potensi manusia pada arah yang benar dan selaras dengan fitrah kemanusiaan. Ilmu akhlak sendiri telah diulas dari berbagai sudut pandang dan beberapa ilmuwan menilai akhlak bersifat mutlak dan sebagian lain memandangnya bersifat relatif.

Mereka yang menganggap akhlak bersifat relatif biasanya melihat manusia hanya sebagai wujud materi. Menurut keyakinan mereka, akhlak dan nilai-nilai moral sama sekali tidak memiliki realitas serta bersifat subjektif dan sementara. Dalam pandangan kelompok ini, akhlak adalah suatu keadaan yang diperoleh dari bentuk pendidikan dalam diri manusia. Mereka mengatakan setiap individu tidak sama dari segi fitrah dan karakter manusia juga berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka juga tidak bersikap sama dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Dengan kata lain, kebohongan dan kezaliman tidak baik dan tidak buruk.

Konsep baik dan buruk akan diukur dari penerimaan atau penolakan mayoritas anggota masyarakat. Sebagai contoh, dalam pandangan para pendukung teori relatifitas akhlak, homoseksual tidak bisa dikategorikan buruk secara mutlak, sebab mungkin saja perilaku itu diterima oleh sejumlah besar masyarakat dan mereka memandang orientasi tersebut bukan tindakan amoral. Sementara fitrah suci dan akal sehat manusia mencela perbuatan yang tidak lazim itu dan melanggar norma-norma. Seluruh utusan Tuhan juga mencela perilaku menyimpang tersebut.

Menurut beberapa pihak lain, akhlak bukan instrumen untuk mencapai tujuan. Pada prinsipnya, baik dan buruk bagi mereka tidak memiliki definisi baku. Dalam pandangan kelompok ini, masyarakat senantiasa berubah dan dinamis serta bentuk lahiriyah mereka juga selalu mengalami perubahan. Oleh sebab itu, parameter untuk mengukur akhlak baik dan buruk juga bersifat dinamis dengan memperhatikan opini publik. Pada dasarnya, prinsip-prinsip moral mengikuti dan selaras dengan kondisi masyarakat. Dengan kata lain, ketika masyarakat menerima sesuatu, maka baik dan buruk perbuatan akan hilang dan ini disebut relatifitas akhlak.

Dalam perspektif Islam, akhlak adalah bukan sesuatu yang bersifat relatif, tapi memiliki dasar-dasar dan parameter khusus dan nilai-nilai moral juga termasuk bagian dari ajaran agama yang bersifat tetap. Jelas bahwa kebaikan, keadilan, kejujuran, dan amanah memiliki nilai-nilai luhur dalam agama Ilahi. Sebaliknya, kezaliman, penindasan, kikir, dengki, dan kebohongan semuanya dikategorikan buruk. Baik itu diterima oleh mayoritas masyarakat atau pun tidak. Kebanyakan manusia – baik itu orang jujur atau orang jahat – membenci pengkhianatan dan label pengkhianat yang disematkan kepada seseorang tentu saja tidak menyenangkan.

Namun tentu saja ada pengecualian untuk kondisi tertentu. Sebagai contoh, seorang yang teraniaya bersembunyi di satu tempat dan seorang penindas mencarinya untuk menghabisinya. Jika sang penindas itu bertanya kepada Anda tentang tempat persembunyian orang tertindas tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan berkata jujur kepadanya atau tidak? Dalam kasus ini, semua sepakat bahwa kita harus berbohong demi menyelamatkan sang tertindas. Sesuatu yang telah melahirkan kebobongan di sini adalah perbuatan baik dan diterima oleh semua orang. Kejujuran di sini justru akan mengancam keselamatan seseorang, sementara menyelamatkan manusia tak berdosa sangat mulia.    

Akhlak dalam Islam bersandar pada ruh suci yang diciptakan oleh Tuhan. Sang Penguasa telah menciptakan manusia dengan fitrah yang sama. Karakteristik ini merupakan argumen terbaik untuk membuktikan bahwa landasan-landasan moral bersifat mutlak dan permanen. Manusia secara alamiah memuji sifat-sifat seperti pengorbanan, kejujuran, amanah, keberanian, dan keadilan. Sebaliknya, mereka mencela kebodohan, kebohongan, dan pengkhianatan.

Dalam agama Islam, berbohong termasuk dosa besar. Namun, perbuatan itu diperbolehkan ketika menyangkut masalah keselamatan atau harga diri seseorang. Hukum universal Islam memberi pengecualian rasional untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, aksi kekerasan dan menciptakan penderitaan bagi manusia termasuk tindak kriminal dan kejahatan yang bisa diproses secara hukum. Akan tetapi, hukum universal itu dapat berubah pada kondisi tertentu.

Ketika seorang dokter bedah demi menyelamatkan nyawa pasien, membuka perutnya dengan pisau untuk mengangkat kanker atau membedah dada pasien untuk memperbaiki otot-otot jantungnya. Di sini, kasusnya sudah berbeda dan tindakan itu tidak dianggap sebagai kriminal dan kejahatan. Namun, pengecualian dalam hukum Islam tidak boleh dianggap sebagai masalah relatifitas landasan-landasan hukum dan akhlak.

Dapat disimpulkan bahwa Islam dan parameter akal menolak masalah relatifitas akhlak. Dengan kata lain, pembahasan relatifitas dalam masalah akhlak sama dengan menafikan akhlak itu sendiri, sebab menurut teori relatifitas akhlak, jika keburukan telah menguasai masyarakat, maka itu juga akan dianggap keutamaan. Menurut pandangan mereka, penyakit sosial dan penyimpangan-penyimpangan moral akan dipandang sebagai kelaziman dan benar jika itu diterima oleh mayoritas masyarakat. Padahal, akhlak adalah sebuah sarana untuk meluruskan perbuatan masyarakat dan bukan instrumen untuk menyebarluaskan kerusakan dan kemungkaran. (IRIB Indonesia)

sumber
http://indonesian.irib.ir/momentum/-/asset_publisher/hm7C/content/konsep-akhlak-dalam-perspektif-islam

What is the difference between a Muslim and Mu`min?


In the name of Allah, We praise Him, seek His help and ask for His forgiveness. Whoever Allah guides none can misguide, and whoever He allows to fall astray, none can guide them aright. We bear witness that there is no one (no idol, no person, no grave, no prophet, no imam, no dai, nobody!) worthy of worship but Allah Alone, and we bear witness that Muhammad(saws) is His slave-servant and the seal of His Messengers.  
First and foremost, lets figure out the meaning of the word "muslim". What does the word "Muslim", which we all use so often, really mean? A muslim is one who surrenders his will to the Will of Allah. Now the question is, who is a muslim and or a mu’min? Can a person be a Muslim by virtue of his birth? Is a person a muslim simply because he is the son or grandson of a muslim? Is a muslim born a muslim, just as a Hindu`s son is born a Hindu, or Englishman`s son is born an Englishman? Are muslims a race, a nationality or a caste? Do Muslims belong to the muslim ummah like the Aryans belong to the Aryan race? And, just as a Japanese is a Japanese because he is born in Japan, is a Muslim similarly a Muslim by being born in a Muslim country or a Muslim household? Your answer to these questions will surely be: NO. A muslim does not become truly a muslim simply because he is born a muslim. A muslim is not a muslim because he belongs to any particular race; he is a muslim because he follows Islam. If he renounces Islam, he ceases to be a Muslim. Any person, whether a Brahman or a Rajput, an Englishman or a Japanese, a white or a black, will, on accepting Islam, become a full member of the Muslim community; while a person born in a Muslim home may be expelled from the muslim ummah if he gives up following Islam, even though he may be a descendant of the Prophet (saws) himself, an Arab or a Pathan!

This establishes that the greatest gift of Allah which we enjoy, that of being a muslim is not something automatically inherited from our parents, which remains ours for life by right, irrespective of our attitude and behavior. It is a gift which we must continually strive to deserve if we want to retain it.
We all agree that we become Muslims only by accepting Islam. But what does acceptance of Islam mean? Does it mean that whoever makes a verbal profession -- "I am a muslim" or "I have accepted Islam" -- becomes a true Muslim? Or does it mean that just as a Hindu worshipper may recite a few words in Sanskrit without understanding them, a man who utters some Arabic phrases without knowing their meanings becomes a Muslim? What reply will you give to this question? We cannot but answer that accepting Islam means that Muslims should consciously and deliberately accept what has been sent down in the Quran and act accordingly. People who do not so behave are not muslims in the true sense.
Islam, therefore, consists, firstly, of knowledge, and secondly, of putting that knowledge into practice. A man can be white and have no knowledge, because he is born white he will remain so. Similarly a Japanese will remain a Japanese though he may have no knowledge, because he has been born a Japanese. But no man becomes truly a muslim without knowing the meaning of Islam, because he becomes a muslim, not through birth, but through knowledge. Clearly, it is impossible to become a muslim and remain a muslim in a state of ignorance. Being born in muslim homes, bearing muslim names, dressing like muslims and calling ourselves muslims is not enough to make us muslims.
The real difference between a Kafir (an unbeliever) and a muslim is not that of a name, that one is called Smith or Ram Lal and the other Abdullah. No one is a Kafir or a muslim simply because of his name. Nor does the real difference lie in the fact that one wears a suit and a necktie and the other a turban. The real difference is that of knowledge. An unbeliever does not understand God`s relationship to him, and his relationship to God. As he does not know the will of God, he cannot know the right path to follow in his life. If a muslim, too, grows up ignorant of God`s will, what ground can there be to continue calling him a muslim rather than a kafir?
There is a huge difference in the rewards and punishment in the eyes of God for a legal muslim and a true muslim (mu’min) ... a person can still legally be a muslim in this world, bearing a muslim name and being born into a muslim family, but in the eyes of God, a true muslim (mu’min) will only be the one who has knowledge of Islam and acts according to the Quran and Sunnah. These are the ones whom Allah has termed “mu’mins” in the Quran and it is for these mumins that Allah has promised a good reward in the hereafter.
May Allah make us of those who constantly beg Allah to forgive us our sins and take us into His infinite Mercy and Protection. Ameen.

Whatever written of Truth and benefit is only due to Allah’s Assistance and Guidance, and whatever of error is of me. Allah Alone Knows Best and He is the Only Source of Strength 

Your Brother and well wisher in Islam,

sumber
http://www.islamhelpline.com/node/60

Islam Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati

Bagi saya,  hidup dengan berpedoman pada Islam maka akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan itu tidak saja bersifat lahir, tetapi juga batin. Secara lahir, dengan berpedoman Islam, maka akan  menjadi sehat, baik sehat jasmani maupun rokhani. Islam mengajarkan kepada semua orang agar selalu memelihara pikiran supaya tetap sehat, hati dan juga semua anggota tubuh. Dengan demikian,  Islam adalah jalan hidup untuk memelihara dan menyelamatkan kehidupan itu sendiri.

Sementara orang, tentu yang belum mengerti, Islam dianggap sebagai ajaran yang membelenggu, menjauhkan dari kebahagiaan, tidak masuk akal, kuno,  dan bahkan akhir-akhir ini dipandang sebagai  sumber kekerasan. Padahal sejatinya tidak begitu. Islam justru mengajarkan kemajuan, kemoderenan, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, keadilan, kebersamaan dan bahkan agar saling menyayangi di antara sesama. Islam mengajarkan agar dalam menjalani hidup saling tolong menolong, menghormati, menghargai dan mencegah kerusakan.

Islam adalah ajaran yang memberi tuntunan agar setiap manusia dihormati,  saling memberi maaf ketika melakukan kesalahan, memberikan peringatan, berbagi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan saling memelihara dan memberi manfaat antar sesama. Ajaran yang dibawa oleh rasulullah juga mengajarkan agar setiap orang membangun keyakinan yang kokoh bahwa manusia itu adalah ciptaan Tuhan. Mereka tidak boleh menyembah kepada selain-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, ummat Islam agar memelihara perilaku yang mulia atau akhlakul karimah.

Muhammad sebagai nabi terakhir tidak pernah mengajak untuk menyalahkan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Ia juga mengajari agar mengimani terhadap semua para rasul Allah, dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw. Islam juga mengajarkan agar ummatnya mengimani terhadap kitab-kitab Allah, yaitu taurat, zabur, injil dan al Qur’an. Nabi Muhammad tidak membantah atas kebenaran kitab-kitab tersebut. Di dalam  al Qur’an juga diajarkan  agar, sebagai seorang yang bertaqwa, agar supaya mengimani al Qur’an dan kitab-kitab lain yang diturunkan sebelumnya, yaitu kitab-kitab sebagaimana disebutkan di muka.          

Islam  mementingkan keselamatan bagi semua. Keselamatan itu dalam perspektif yang amat panjang, yaitu baik di dunia maupun di akherat. Agar seseorang menjadi selamat, maka harus selalu menjalin hubungan baik  dengan Tuhan dan juga hubungan baik dengan sesama. Hubungan baik dengan Tuhan dilakukan dengan cara mengimani-Nya, menjalankan kegiatan ritual sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi-Nya. Hubungan baik dengan sesama didasarkan pada  akhlak yang mulia.


Tidak dibolehkan sebagai ummat Islam membuat kerusakan di muka bumi, baik kerusakan terhadap manusia, lingkungan dan alam ini. Bahkan manusia tidak boleh merusak dirinya sendiri, bunuh diri misalnya. Larangan mencuri, berjudi, meminum minuman yang memabukkan, merampas hak orang lain, menyakiti dan apalagi membunuh orang adalah bisa dimaknai dengan jelas, bahwa Islam adalah ajaran  yang berusaha menjauhkan dari kerusakan itu. Sedemikian jelas, bahwa Islam adalah agama yang mengajak kepada keselamatan dan bahkan kebahagiaan yang sejati.

Ajaran yang mengantarkan pada suasana bahagia itu telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabat dan ummatnya semasa hidupnya di Madinah. Masyarakat madinah kemudian dikenal dalam sejarah ummat manusia  sebagai tatanan kehidupan yang amat ideal. Tatanana masyarakat madinah yang disebut ideal  itu dikenal dalam sejarah hingga sekarang ini. Itulah sebabnya tatkala orang ingin membangun masyarakat ideal, yaitu damai, rukun dan sejahtera, maka  selalu mengacu pada masyarakat madinah itu.

Namun sayangnya, ajaran yang mulia itu tidak selalu ditangkap, dan bahkan oleh ummatnya sendiri. Sebagai akibatnya, masyarakat muslim banyak yang ketinggalan, baik dari aspek ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan juga kebudayaannya.  Banyak kalangan muslim yang ditimpa oleh kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Mereka itu, mengaku sebagai kaum muslimin, tetapi tidak  berpegang  sepenuhnya terhadap ajaran yang dibawa oleh rasulnya. Ajaran Islam yang mengajak pada persatuan, justru di antara sesama bertengkar dan bercerai berai. Islam menyeru pada keselamatan, tetapi  justru melakukan kerusakan di mana-mana.

Lebih dari itu semua, Islam mengajarkan agar peduli terhadap anak yatim dan orang miskin, tetapi yang terjadi justru memonopoli dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya hingga yang lain menjadi miskin. Islam  mengajarkan kebahagiaan, keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan,  ternyata tertutupi oleh perilaku ummatnya yang belum sepenuhnya paham dan menjalankan ajaran nabi yang mulia  itu. Ummat Islam harus segera bangkit, menjalankan ajaran Islam  sebagai pintu meraih kebahagiaan sejati itu.Wallahu a’lam    

sumber
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2850:islamn-jalan-menuju-kebahagiaan-sejati&catid=25:artikel-rektor